Pemilihan Kepala Daerah atau yang biasa disebut Pilkada merupakan implementasi dari sistem demokrasi Pancasila yang dianut oleh Indonesia. Sudah dua periode Pilkada telah terlaksana di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Namun berbagai permasalahan pun banyak yang timbul setiap Pilkada diselenggarakan, mulai masalah pemberian sejumlah uang untuk para pemilih hingga bentrokan antar pendukung ketika berlangsung kampanye atau setelah pengumuman pemenang.Tak jarang korban jiwa sampai berjatuhan.
Pilkada dilangsungkan untuk memilih pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II, yaitu memilih gubernur dan walikota/bupati. Tapi untuk di DKI Jakarta, Pilkada dilaksanakan hanya untuk memilih gubernur saja. Pilkada yang seharusnya menjadi hajatan besar demokrasi namun kerap berujung bagi-bagi kekuasaan yang dilakukan oleh sang pemenang, istilahnya politik balas budi.
Saat ini aku sedang mendapat tugas di sebuah kabupaten yang baru saja dimekarkan yang terletak di timur Indonesia. Saat aku datang kabupaten tersebut baru saja selesai menyelenggarakan Pilkada. Tapi ternyata Pilkada di daerah tersebut tidak berjalan lancar, bahkan satu bulan sebelum aku datang telah terjadi kerusuhan hingga sebuah cafe dibakar oleh massa pendukung salah satu calon bupati. Hal ini terjadi karena perbedaan perhitungan jumlah suara antara KPUD setempat dengan kubu salah satu calon bupati. Masalah ini sampai dibawa ke Makamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan kuputusan MK akhirnya daerah tersebut melantik bupati yang baru. Namun permasalahannya tidak selesai sampai disitu saja.
Ternyata sang bupati didukung oleh banyak partai yang mengusungnya, sehingga mau tidak mau dia harus berbalas budi atas semua yang dia capai. Lebih gawat lagi, ternyata suhu politik di daerah-daerah terutama yang di luar Pulau Jawa sangat panas dan mudah terjadi gesekan. Orang yang dulu berseberangan kubu politik pasti dibuang dan yang mendukung pasti dihadiahkan jabatan tanpa lihat track record terlebih dahulu.
Di kabupaten ini juga aku baru tahu bahwa setiap kepala dinas bukanlah jabatan karier, melainkan berkaitan erat dengan politik. Ketika bupati baru telah dilantik, tugas pertama dia adalah membuang setiap orang-orang yang ketika masa Pilkada berseberangan. Banyak kepala dinas dan jajarannya yang diganti dan menempatkan orang-orang yang membantunya ketika kampanye di jabatan yang bisa dibilang basah. Orang yang ditempatkan juga belum tentu menguasai job desk yang akan diberikan kepadanya. Bahkan orang yang cuma lulusan SMA pun mendapat jabatan yang tinggi, yang awalnya cuma pegawai rendahan.
Coba bayangkan , sebuah kabupaten yang baru pemekaran, masih awam dalam hal pemerintahan dengan beraninya menempatkan orang yang tidak punya kompeten sama sekali untuk memegang suatu jabatan strategis. Kapan mau maju itu daerah, bila para pemimpinnya hanya memikirkan diri sendiri beserta kroni-kroninya dan kurang pengetahuan dalam memajukan kabupaten tersebut.
Sebenarnya politik balas budi, menurutku sah-sah saja. Asalnya tidak merugikan masyarakat dan menempatkan orang-orang yang membantu ketika Pilkada sesuai dengan kompetensinya.
Politik balas budi mungkin tidak akan terjadi bila setiap calon gubernur atau calon walikota/bupati tidak perlu ada partai yang mengusung. Jadi orang yang ingin menjadi pemimpin langsung ngajukan diri saja. Sudah ada contoh sih walikota yang mendapat jabatannya melalui Pilkada tapi tidak di usung satu partai pun, yaitu Walikota Solo. Dan ternyata terbukti bahwa dia menjalankan jabatannya dengan sangat baik, bahkan lebih down to earth pada warganya.
Oleh karena itu perlu pemimpin yang punya integritas yang tinggi dan tidak terpengaruh oleh siapa pun agar bisa membawa negara ini lebih maju, terkhususnya daerah yang dipimpinnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Akhinya setelah 6 bulan ga nulis, bisa nulis lagi. Tapi kayaknya tulisan ku kali ini mengalami kemunduran. Ga pernah nulis sih selama di tapal batas. Lebih banyak tidurnya...hehehehe