Wednesday, July 14, 2010

Kebocoran Cairan Serebrospinal

Terdapatnya defek pada basis fosa kranial anterior bisa menyebabkan bocor (leakage) cairan serebrospinal ke kavum nasal. Secara alami sejumlah mikroba terdapat di kavum nasal hingga traktus aerodigestif bagian atas, dengan terjadinya hubungan dengan struktur intracranial dapat menyebabkan meningitis atau komplikasi intrakranial lainnya yang tidak jarang mengakibatkan kematian.
Dengan meningkatnya pemeriksaan menggunakan endoskopi pada basis kranii anterior dan bentuk trauma yang sering terjadi pada area ini, menyebabkan kasus pasien dengan rhinorea cairan serebrospinal meningkat.

Defek yang mendasari terjadinya kebocoran cairan serebrospinal, tanpa mengindahkan etiloginya, adalah sama, yaitu terganggunya lapisan duramater dan arachnoid disertai dengan defek pada tulang dan peningkatan dari gradien tekanan cairan serebrospinal.


Etiologi1

Klasifikasi dari kebocoran cairan serebrospinal berdasarkan pada etilogi. Meski demikian anatomi lokasi, umur pasien dan tekanan intrakranial yang terjadi, mempengaruhi semua manifestasi klinis yang timbul. Trauma menjadi penyebab terbanyak terjadinya rhinorea cairan serebrospinal, sekitar 90% dari semua kasus. Serta hanya 4% akibat nontraumatik dan 16% terjadi sebagai akibat langsung dari prosedur intrakranial dan ekstrakranial. Trauma akibat pembedahan atau lainnya, bisa mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal yang bersifat sementara atau permanen.

Onset terjadinya rhinorea truamatik non-bedah bervariasi. Namun dapat diklasifikasikan sebagai immediate (dalam 48 jam) atau delayed. Pada pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal delayed, sekitar 95% pasien timbul gejala dalam 3 bulan setelah insult. Hampir semua pasien kebocoran CAIRAN cairan serebrospinal sekunder karena trauma non-bedah (mis. kecelakaan lalu lintas) manifestasi timbul segera (immediate). Sedangkan kebocoran cairan serebrospinal akibat iatrogenic, hanya 50% pasien manifestasinya timbul dalam satu minggu pertama.

Trauma akibat pembedahan merupakan suatu jenis trauma dengan tipe yang berbeda yang berkaitan dengan kebocoran cairan serebrospinal. Perbedaan yang terkait dengan trauma bedah termasuk ukuran defek yang terjadi di tulang, tingkat kerusakan lapisan dural, dan kerusakan pada parenkim otak. Sedangkan bila akibat iatrogenik, kerusakan mulai dari beberapa millimeter hingga sentimeter, robekan lapisan dural yang luas, dan gangguan klinis pada parenkim yang signifikan. Dari catatan, operasi revisi sinus endoskopi meningkatkan risiko kebocoran cairan serebrospinal dengan berbagai alasan, dan hypophysectomi transphenoidal adalah penyebab paling umum dari kebocoran cairan serebrospinal dari prosedur bedah saraf.

Rhinorea cairan serebrospinal akibat nontraumatik relatif jarang terjadi. Selain itu terjadinya peningkatan tekanan cairan serebrospinal pada kasus kebocoran cairan serebrospinal nontraumatik, biasanya terjadi karena tumor atau hidrosefalus. Pada kasus ini disebut rhinorea cairan serebrospinal nontraumatik sekunder. Sedangkan kasus kebocoran cairan serebrospinal dengan tekanan cairan serebrospinal normal disebut rhinorea cairan serebrospinal nontraumatik primer. Terjadinya keadaan ini masih kurang dipahami dan sangat jarang terjadi. Terdapat beberapa teori mengatakan bahwa hal ini disebabkan akibat kelainan kongenital pada basis fosa kranial anterior.


Table.1 -- CSF RHINORRHEA CLASSIFICATION2

I. Traumatic

A. Accidental

1. Immediate

2. Delayed

B. Surgical

1. Complication of neurosurgical procedures

a. Transsphenoidal hypophysectomy

b. Frontal craniotomy

c. Other skull base procedures

2. Complication of rhinologic procedures

a. Sinus surgery

b. Septoplasty

c. Other combined skull base procedures

II. Nontraumatic

A. Elevated intracranial pressure

1. Intracranial neoplasm

2. Hydrocephalus

a. Noncommunicating

b. Obstructive

3. Benign intracranial hypertension

B. Normal intracranial pressure

1. Congenital anomaly

2. Skull base neoplasm

a. Nasopharyngeal carcinoma

b. Sinonasal malignancy

3. Skull base erosive process

a. Sinus mucocele

b. Osteomyelitis

4. Idiopathic



Patofisiologi1,2

Dalam kasus kebocoran cairan serebrospinal segera, robekan pada lapisan dural dan kelainan pada tulang atau fraktur telah terjadi. Kemungkinan penyebab pada kebocoran cairan serebrospinal traumatik delayed adalah lapisan dural masih utuh sebelumnya, kemudian secara bertahap terjadi herniasi melalui defek tulang yang akhirnya merobek lapisan dural dan menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal. Namun ada teori lain yang mengatakan bahwa robekan pada dural dan defek pada tulang telah ada sejak terjadinya cedera, tapi kobocoran baru akan terjadi setelah hematom yang terbentuk telah diresorbsi.

Rhinorea cairan serebrospinal spontan biasanya bermanifestasi pada orang dewasa, berkaitan dengan peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Lapisan dural pada basis kranii anterior merupakan lokasi dengan tekanan cairan serebrospinal yang bervariasi akibat beberapa faktor, termasuk tekanan arteri dan fluktuasi dari pernafasan. Selain itu stress pada dura juga akibat dari tindakan mirip valsava seperti menghembuskan nafas melalui hidung. Stress ini dapat mengakibatkan cedera pada lapisan dural di area dengan basis tulang yang abnormal.

Terjadinya kebocoran cairan serebrospinal nontraumatik tidak memerlukan peningkatan tekanan intrakranial. Teori untuk kebocoran cairan serebrospinal nontraumatik primer meliputi fokal atrofi, ruptur dari lapisan arachnoid yang disertai serabut saraf olfaktorius, dan lumen olfaktori embrionik yang persisten.

Anatomi1

Lokasi anatomi kebocoran cairan serebrospinal yang paling sering adalah kelemahan kongenital pada fosa cranial anterior dan area yang terkait dengan jenis operasi yang dilakukan. Menurut data dari 53 pasien dengan penyebab rhinorea cairan serebrospinal yang berbeda, sekitar 39% kebocoran terjadi pada lamina kribrosa dan sinus etmoid; sekitar 15% kebocoran terjadi pada fistul yang memanjang ke sinus frontalis, dan 15% lainnya, kebocoran terjadi di daerah sela tursika dan sinus sphenoid.

Lokasi yang sering terjadi cedera sekunder akibat operasi sinus endoskopi adalah pada lateral lamina kribrosa dan pada atap etmoid posterior dekat dinding sphenoid anterior dan medial. Pada situasi langka, kebocoran dapat berasal dari fosa cranial tengah atau posterior dan mencapai ke kavum nasal dengan melalui telinga tengah dan tuba eustachius.



Gambar 1. Anatomi Basis Kranii



Diagnosis1,2,3

Anamnesis

Melakukan anamnesis merupakan langkah pertama untuk menuju diagnosis yang akurat. Anamnesis yang khas untuk kebocoran cairan serebrospinal adalah cairan jernih, konsistensi seperti air dan biasanya unilateral. Diagnosis dipermudah pada pasien dengan trauma atau riwayat operasi baru-baru ini dibanding dengan yang lain. Munculnya delayed fistula sulit untuk didiagnosis dan dapat terjadi beberapa tahun setelah trauma atau operasi. Kasus ini sering salah didiagnosis menjadi rinitis alergi dan rinitis vasomotor.

Riwayat sakit kepala dan gangguan penglihatan mengarah pada peningkatan tekanan intrakranial. Kadang, gejala yang timbul dapat membantu mengarahkan pada lokasi kebocoran. Sebagai contoh, anosmia (pada 60% pasien dengan rhinorea pasca trauma), menunjukkan adanya cedera pada area olfaktori dan fosa anterior, terutama bila timbul unilateral. Gangguan pada saraf optik menunjukkan lesi pada daerah sela tuberkulum, sinus sfenoid, atau sel etmoid posterior. Pasien dengan meningitis berulang, terutama meningitis pneumokokus, harus dilakukan evaluasi untuk mencari defek yang membuat ruang intrakranial terekspos dengan saluran nafas atas, tanpa melihat ada atau tidak cairan serebrospinal.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan rhinologi lengkap (termasuk endoskopi), otology, kepala dan leher, dan evaluasi neurologi. Endoskopi dapat mengungkapkan patologi seperti encephalocele atau meningocele. Drainase cairan serebrospinal sering dapat ditimbulkan saat endoskopi dengan menyuruh pasien melakukan maneuver valsava atau melakukan kompresi pada kedua vena jugularis (Queckenstedt-stookey test). Perubahan posisi kepala pun dapat menimbulkan tanda reservoir.

Pada pasien dengan trauma kepala, tercampurnya darah dan cairan serebrospinal membuat diagnosis menjadi sulit. cairan serebrospinal akan terpisah dari darah ketika ditaruh pada kertas filter, dan menghasilkan tanda klinis berupa: tanda cincin, tanda double cincin atau tanda halo. Namun terdapatnya tanda cincin bukan khas untuk cairan serebrospinal dan bisa menyebabkan hasil positif palsu. Temuan klinis yang sering dikaitkan dengan rhinorea cairan serebrospinal adalah meningitis (30%) dan pneumochepalus (30%).


Pemeriksaan penunjang2

• Foto roengent

Foto radiologi dapat menunjukkan gambaran fraktur tengkorak, air-fluid level pada sinus atau aerocel pada rongga kepala. Terdapatnya udara pada ruang di subarachnoid hampir menjadi tanda patognomonik cedera lapisan dural. Namun pada kasus tanpa riwayat trauma, foto radiologi kurang berperan.

• CT-scan

Ct-scan dapat menunjukkan lokasi fraktur pada kebocoran traumatik, menunjukkan anatomi yang mendasari atau perkembangan yang abnormal pada kasus kebocoran nontraumatik, dan memberikan informasi keadaan parenkim otak di sekitar daerah yang mengalami kebocoran.

• Nasal endoskopi

Nasal endoskopi dilakukan 20-30 menit setelah penyuntikan intratekal dengan fluoresceinsanat baik untuk menemukan kebocoran yang terjadi. Pemeriksa harus mencari cairan serebrospinal yang berfluoresen yang terlihat dengan lampu endoskopi. Tidak perlu menggunakan sinar ultraviolet.


Tata laksana1,2,4

Konservatif

Tatalaksana konservatif terdiri dari bed rest selama 1-2 minggu dengan posisi kepala pasien ditinggikan. Batuk, bersin, menghembuskan nafas melalui hidung, dan mengangkat barang yang berat sebaiknya dihindari sebisa mungkin. Pemberian obat pencahar dapat digunakan untuk mengurangi ketegangan dan peningkatan tekanan intrakranial yang berkaitan dengan pergerakan usus.

Pemberian asetazolamid telah digunakan sebagai terapi tambahan untuk kebocoran cairan serebrospinal. Diuretik ini menurunkan produksi cairan serebrospinal sebanyak 48%. Ketika peningkatan tekanan inrakranial menjadi masalah dan berkontribusi terhadap kebocoran cairan serebrospinal, pemberian asetazolamid dapat berperan dalam hal ini.

Pemakaian antibiotik sebagai profilaksis masih menjadi kontroversi. Namun pada umumnya pemberian antibiotik profilaksis tidak ada indikasi, justru akan membuat resisten pada bakteri. Tapi, pada kelompok dengan risiko tinggi, pemberian antibiotik masih dapat dibenarkan. Sebagai contoh, pasien dengan operasi sinus sebelumnya atau telah ada sinusitis sebelumnya. Kekurangan dari terapi konservatif adalah risiko meningitis dan abses otak.

Terapi bedah

Pemilihan bedah untuk memperbaiki kebocoran cairan serebrospinal yang timbul dari basis kranii anterior dapat dibagi menjadi 2, yaitu pendekatan intrakranial dan ekstrakranial.

Perbaikan intrakranial

Sampai saat ini, perbaikan intrakranial telah menjadi metode standar. Kebocoran yang timbul dari defek anterior dapat dilakukan dengan kraniotomi fosa anterior frontal. Pada situasi tertentu, kraniotomi fosa media atau fosa posterior diperlukan untuk kebocoran yang timbul pada daerah tersebut.

Keuntungan dari pendekatan intrakranial adalah dapat mencakup kemampuan untuk memeriksa korteks serebri yang berdekatan, visualisasi langsung dari defek dural, dan kemampuan yang lebih baik untuk menutup kebocoran pada peningkatan tekanan intrakranial. Ketika upaya preoperative untuk mencari lokasi kebocoran gagal, pendekatan intrakranial memberikan hasil yang baik.

Kerugian menggunkan pendekatan intrakranial termasuk peningkatan morbiditas, peningkatan risiko anosmia, trauma yang berkaitan dengan brain retraction, dan perawatan di rumah sakit berkepanjangan. Kegagalan untuk menggunakan pendekatan ini adalah 40% pada usaha pertama.


Perbaikan ekstrakranial

Perbaikan ekstrakranial dapat dibagi menjadi pendekatan eksternal dan teknik endoskopi.

Pendekatan eksternal menggunakan sebuah flap anterior osteoplastik melalui sayatan bikoronal atau alis, etmoidektomi eksternal, sfenoidotomi transetmoidal, sfenoidotomi transeptal, dan pendektatan transantral. Pemilihan bahan graft meliputi fasia lata, fasia temporalis, mukosa septum, otot, lemak, dan tulang rawan septum. Semua bahan itu ditempatkan dengan menggunakan teknik endoskopi. Untuk kebocoran pada kribrosa atau fovea etmoidalis dapat dilakukan etmoidektomi transnasal dan untuk kebocoran di sphenoid, dipilih sfenoidektomi. Bahan graft ditaruh diatas fistul, bila mungkin diatas basis kranii dibawah defek dural.

Kesuksesan menggunakan pendekatan eksternal ini 86-100%. Kerugian menggunakan cara ini adalah tidak bisa menata laksana kelainan intrakranial secara bersamaan, sulit untuk memperbaiki frontal dan sphenoid yang menluas ke lateral, dan relatif tidak efektif untuk memperbaiki kebocoran dengan tekanan tinggi dari bawah.


Teknik endoskopi

Dibandingkan dengan teknik eksternal, teknik endoskopi memiliki beberapa keuntungan, termasuk visualisasi yang lebih baik. Selain itu, dapat membersihkan tulang dari mukosa tanpa memperbesar ukuran defek dan secara akurat menempatkan graft. Kesuksesan menggunakan endoskopi sekitar 90-95% dalam memperbaiki kebocoran cairan serebrospinal.


Komplikasi

Meningitis merupakan komplikasi yang paling berat dan sering terjadi pada kebocoran cairan serebrospinal. Pathogen yang sering menginfeksi adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Risiko meningitis selama 3 minggu pertama setelah trauma sekitar 10%. Serta pada rhinorea nonntraumatik sekitar 40%.

Meningitis yang disebabkan kebocoran cairan serebrospinal persisten berkaitan dengan mortalitas yang tinggi. Karena penutupan secara spontan berjalan relatif lambat, sehingga manajemen konservatif tidak direkomendasikan.

No comments:

Post a Comment