2.1 Imunisasi
2.1.1 Definisi
Kata imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi merupakan suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif ke tubuh seseorang. Di samping istilah imunisasi, dikenal juga istilah vaksinasi. Vaksinasi adalah suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen, dengan tujuan untuk menyiapkan respon imun. Keuntungan dari vaksinasi adalah pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya, murah dan efektif, vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi. Imunisasi dan vaksinasi memiliki definisi yang berbeda, namun pada praktiknya seringkali definisi keduanya disamaartikan.6
Namun bila ditinjau dari arti kedua istilah tersebut, maka yang sehari-hari dikenal sebagai istilah imunisasi sebenarnya mengacu kepada istilah vaksinasi. Namun demikian, untuk kepentingan komunikasi sehari-hari, penyamaartian kedua istilah tersebut akhirnya terima. 8
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang pencegahan merupakan prioritas utama karena pada prinsipnya mencegah lebih baik daripada mengobati. Dalam melaksanakan sistem kesehatan nasional, imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Pemberian imunisasi terhadap seorang anak tidak hanya memberikan perlindungan terhadap suatu penyakit tetapi juga mengurangi penyebaran infeksi. Dengan demikian dapat mencegah dan menyelamatkan jiwa dari penyakit infeksi berat. Penurunan insidens penyakit menular telah terjadi di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian pula di Indonesia yang dinyatakan bebas penyakit cacar pada tahun 1972 dan terjadi penurunan insidens beberapa penyakit menular secara mencolok sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus, pertusis, campak dan polio.8
2.1.2 Tujuan Imunisasi
Tujuan umum dilakukan imunisasi adalah turunnya angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi). Penyakit-penyakit itu sendiri mencakup diantaranya tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, dan hepatitis B.7
Dalam kerangka ilmu kesehatan masyarakat dan dalam konteks sistem kesehatan nasional, bidang pencegahan merupakan prioritas utama. Untuk itu, program imunisasi merupakan salah satu bentuk program pencegahan penyakit yang menduduki peran sangat strategis.8,9
Secara umum, tujuan imunisasi pada anak adalah untuk menurunkan angka kematian dan angka kesakitan serta mencegah timbulnya akibat buruk lebih lanjut yang dapat diakibatkan oleh penyakit tersebut yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Sedangkan tujuan khusus dari imunisasi adalah memberikan kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu pada anak.10,11
Untuk mencapai imunitas tubuh pada anak yan optimal, maka salah satu upaya untuk mencapainya ialah dengan imunisasi lanjutan. Selain untuk mempertahankan tingkat kekebalan di atas ambang perlindungan, imunisasi lanjutan juga dimaksudkan untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi lanjutan terutama diberikan kepada kelompok anak sekolah dan wanita usia subur (WUS).12
2.1.3 Difteria
2.1.3.1 Difteria8,13
Difteria adalah suatu penyakit akut bersifat toxin-mediated disease yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini diperkenalkan pertama kali oleh Hipokrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri tersebut pertama kali diisolasi dari pseudomembran pasien penderita difteria pada tahun 1883 oleh Klebs, sedangkan anti-toksin ditemukan pertama kali dibuat pada akhir abad ke-19 sedangkan toksoid difteria mulai dibuat sekitar tahun 1920.
Corynebacterium diphteriae adalah bakteri gram positif. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Sampai saat ini telah ditemukan 3 galur bakteri penyebab difteria, yakni gravis, intermedius dan mitis, dan semuanya dapat membuat toksin. Tipe gravis adalah penyebab penyakit difteria yang paling virulen.
Seorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan membentuk suatu membran atau selaput yang dapat menyumbat jalan napas. Toksin yang terbentuk pada membran tersebut dapat masuk dalam aliran darah, sehingga dapat menimbulkan komplikasi berupa miokarditis dan neuritis serta trombositopenia.
Semua komplikasi dari difteria, termasuk kematian adalah akibat langsung dari toksin difteria. Beratnya penyakit dan komplikasi tergantung dari luasnya kelainan. Angka kematian tertinggi terjadi pada kelompok usia dibawah lima tahun.
2.1.3.2 Vaksin Difteria8,14
Anti-toksin difteria pertama kali digunakan pada tahun 1891 dan mulai dibuat secara massal tahun 1892. Anti-toksin difteria ini terutama digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahan diragukan. Pemberian anti-toksin dini sangat mempengaruhi angka kematian akibat difteria. Kemudian dikembangkanlah toksoid difteria yang ternyata efektif dalam pencegahan timbulnya difteria. Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria yang kemudian digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP. Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti-toksin difteria.
Untuk imunisasi rutin anak dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah. Dalam penelitian terhadap bayi yang mendapatkan imunisasi DTP di Jakarta, I Made Setiawan (1992) melaporkan bahwa 71-94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria dan setelah mendapatkan imunisasi DTP 3 kali didapatkan 68-81% telah memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria. Beberapa penelitian serologis membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan (booster) pada masa anak.
2.1.3.3 Tetanus8,15
Tetanus adalah suatu penyakit akut dan bersifat fatal yang disebabkan oleh eksotoksin produksi bakteri Clostridium tetani. Penyakit ini sudah mulai dikenal sejak abad ke-5 SM tetapi baru pada tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien tetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone.
Clostridium tetani adalah bakteri gram positif berbentuk batang, bersifat anaerob dan dapat menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Bakteri ini sensitif terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Banyak terdapat pada kotoran dan debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, anjing dan kucing. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob, kemudian menghasilkani toksin (tetanospasmin) yang akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan limfe. Toksin tetanus kemudian menempel pada reseptor di sistem saraf. Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, yang berakibat penghambatan sistem inhibisi. Akibatna terjadi kontraksi dan spastisitas otot yang tidak terkontrol, kejang dan gangguan saraf otonom. Perawatan luka merupakan pencegahan utama terjadinya tetanus di samping imunisasi pasif dan aktif.
2.1.3.4 Vaksin Tetanus8
Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasatol (1889) dan Nocard (1897) yang menunjukkan efek dari transfer pasif suatu anti-toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif selama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan oleh Descombey pada tahun 1924 dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada perang dunia II.
Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bersama dengan toksoid difteria dan vaksin pertusis. Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian berseri untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat. Efektifitas vaksin ini cukup baik, ibu yang mendapatkan toksoid tetanus 2 atau 3 dosis memberikan proteksi bagi bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Pemberian toksoid tetanus yang diberikan dalam DTP diberikan sesuai jadwal PPI.
2.2 Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) DT-TT
2.2.1 Program BIAS DT-TT
Usia sekolah dan remaja dalam menginjak kedewasaan merupakan kurun usia anak dengan paparan lingkungan yang luas dan beraneka ragam. Apabila angka kematian usia balita masih sekitar 56 per 1000 kelahiran hidup maka pada usia sekolah dan remaja menunjukkan grafik yang menurun dan kemudian meningkat lagi pada usia yang lebih lanjut. Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk dalam imunisasi nasional sudah sangat berkurang, seperti polio, difteria, tetanus, batuk rejan dan campak, terutama karena dilaksanakannya BIAS.8,16
BIAS adalah bentuk operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang dilaksanakan pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran semua anak kelas I, II dan III di seluruh Indonesia. Imunisasi lanjutan sendiri merupakan imunisasi ulangan yang ditujukan untuk untuk mempertahankan tingkat kekebalan diatas ambang perlindungan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Penyelenggaraan BIAS ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 dan mengacu pada himbauan UNICEF, WHO dan UNFPA tahun 1999 untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE) pada tahun 2005 di negara berkembang (insiden dibawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun).8,17,18
Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster untuk hampir semua jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini. Masa tersebut sangat penting untuk dipantau dalam upaya pemeliharaan kondisi dan kekebalan tubuh terhadap berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit. Pada program BIAS yang diberikan adalah imunisasi DT, TT dan campak.8
Mekanisme penyelenggaraan BIAS serupa dengan program imunsasi lainnya, yakni terdiri atas (1) penyusunan perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengelolaan rantai vaksin; (4) penanganan limbah; (5) pencatatan dan pelaporan; (6) supervisi dan bimbingan; dan (7) penelitian dan pengembangan. Perencanaan merupakan bagian yang sangat penting dalam pengelolaan program imunisasi. Masing-masing kegiatan terdiri dari analisa situasi, alternatif pemecahan masalah, alokasi sumber daya (tenaga, dana, sarana dan waktu) secara efisien untuk mencapai tujuan program. Perencanaan disusun mulai dari puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Kegiatan perencanaan meliputi menentukan jumlah sasaran, menentukan target cakupan, perencanaan kebutuhan vaksin berikut peralatan rantai vaksin (cold chain).11
Kegiatan pelaksanaan BIAS meliputi persiapan petugas, persiapan masyarakat, pemberian pelayanan imunisasi dan koordinasi. Pengelolaan rantai vaksin dimaksudkan untuk tetap menjaga kualitas vaksin yang akan diberikan, peralatan rantai vaksin harus tersedia dan digunakan mulai dari pengadaan, penyimpanan, distribusi dan pemakaian. Pencatatan dan pelaporan dalam manajemen program imunisasi memegang peranan penting dan sangat menentukan. Selain menunjang pelayanan imunisasi juga menjadi dasar untuk membuat perencanaan maupun evaluasi.11
2.2.2 Sasaran
Vaksinasi DT diberikan kepada murid SD/MI kelas 1 tanpa memandang apakah anak pernah mendapat vaksinasi DPT pada waktu bayi atau tidak. Vaksinasi TT diberikan pada murid SD/MI kelas 2 dan 3.15
2.2.3 Bahan Vaksin
Vaksin DT-TT merupakan vaksin yang terbuat dari bahan toksoid. Toksoid adalah racun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri yang kemudian telah dilemahkan sehingga tidak berbahaya bagi manusia. Tetanus dan difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan toksin yang berbahaya bagi tubuh. Vaksin DT terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus. Sedangkan vaksin TT terdiri dari toksoid tetanus saja.8
2.2.4 Cara Pemberian
Vaksin DT diberikan dengan diinjeksikan secara intramuskular pada lengan atas dengan dosis 0,5 mL. Vaksinasi TT juga diberikan dengan diinjeksikan secara intramuskular pada lengan atas dengan dosis 0,5 mL.8
2.2.5 Pengelolaan Vaksin
Pengelolaan vaksin tercakup di rantai dingin (cold chain). Rantai dingin (cold chain) adalah suatu prosedur yang digunakan dalam pengiriman dan penyimpanan vaksin dari pabrik pembuat sampai pada sasaran. Tujuan dari prosedur ini adalah agar vaksin yang disuntikkan masih mempunyai potensi untuk menimbulkan kekebalan. Cold chain sangat membutuhkan petugas yang dapat menangani secara benar selain peralatan yang modern.18
Vaksin DT-TT akan rusak jika dibekukan atau terkena panas. Bila vaksin sudah rusak karena panas atau pembekuan maka potensinya akan hilang walaupun disimpan kembali ke dalam tempat penyimpanan dengan suhu yang tepat. Oleh karena itu sangat penting untuk menyimpan vaksin pada suhu yang telah ditentukan, yaitu 2-8’C. Sarana cold chain yang dibutuhkan untuk menjamin vaksin tersimpan pada suhu tersebut, antara lain: cold box, vaccine carrier, freezer dan lemari es.18
Pemeriksaan yang terpenting terhadap produk akhir, yaitu pemeriksaan potensi dan safety, namun tidak berarti bahwa pemeriksaan lain tidak dilakukan.
• Pemeriksaan potensi18
Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur infektivitas virus dengan membandingkannya terhadap standar yang telah diketahui titer atau unitnya. Pemeriksaan potensi dibedakan antara vaksin yang dilemahkan atau vaksin virus hidup dengan vaksin inactivated. Pemeriksaan potensi dilakukan pada bulk dalam proses produksi dan pada produk akhir.
• Uji keamanan (safety)18
Bila seluruh partikel virus digunakan, vaksin tersebut tidak saja mengandung antigen protein tetapi juga beberapa substansi lain yang toksik dan mungkin dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Uji keamanan pada pembuatan vaksin virus sangat ketat dan dilakukan sejak tahap awal produksi.
• Cold chain18
No comments:
Post a Comment