Tanggal 1 April yang lalu, awalnya merupakan tanggal untuk digunakan sebagai tanggal dimana harga BBM akan dinaikan oleh pemerintah. Tapi niatan itu tidak terealisasikan, atau lebih tetapnya ditunda untuk melihat kenaikan harga minyak dunia. Bila dalam 6 bulan harga minyak dunia naik hingga 15% dari ICP, maka pemerintah punya hak untuk langsung menaikkan harga BBM. Karena DPR telah mensahkan UU yang mengatur hal tersebut.
Cukup dengan pemerintah yang menunda kenaikan BBM. Tulisanku kali ini ingin membahas reaksi rakyat Indonesia mengenai hal kenaikan BBM. Saat pemerintah mengumumkan rencana untuk menaikan harga BBM pada tanggal 1 April, rakyat Indonesia, terutama mahasiswa, mulai beraksi menentang rencana tersebut. Unjuk rasa mulai digelar di setiap daerah-daerah. Tak jarang banyak unjuk rasa yang berakhir dengan bentrokan dengan pihak polisi. Sangat disesalkan sekali, bila harus berujung anarkis. Mahasiswa yang dianggap kaum intelektual, tapi berperilaku seperti orang barbar. Lebih menonjolkan otot dibandingkan otak yang seharusnya menjadi senjata utama mahasiswa.
Aku sangat heran dengan pola pikir mahasiswa saat ini, mereka lebih suka bersikap reaktif dengan emosi dibandingkan melakukan kajian-kaijian terlebih dahulu terhadap setiap isu berkembang. Hasilnya, setiap mereka turun ke jalan yang sejatinya untuk menyuarakan derita rakyat, tapi malah terlihat seperti segerombolan preman-preman yang minta jatah setoran. Lihat saja bentrokan yang terjadi di Jl. Diponegoro antara mahasiswa YAI-UKI dengan polisi atau penghadangan truk BBM oleh mahasiswa di Makasar. Bila kaum intelektual berkelakuan seperti ini, kapan negara ini bisa menjadi negara maju yang ada hanya menjadi negara sarang preman saja.
Apakah mereka tidak pernah berpikir, bila harga minyak dunia yang naik akan memberikan dampak pada anggaran negara bila pemerintah tidak juga menaikan harga BBM. Jika BBM tidak naik, maka pemerintah harus menaikan anggaran subsidi BBM, dengan kata lain negara juga mungkin harus berhutang untuk mencukupi subsidi tersebut. Padahal pemerintah sedang berusaha untuk tidak menambah jumlah hutang negara. Dampak kenaikan harga BBM memang akan membuat harga kebutuhan lain akan melonjak naik. Mungkin bagi rakyat Indonesia yang berada di Pulau Jawa, Sumatra ataupun Sulawesi yang terbiasa akan barang-barang relatif murah akan merasa berat untuk kenaikan tersebut. Tapi bandingkan dengan rakyat Indonesia yang tinggal di wilayah timur Indonesia, untuk wilayah maluku utara saja harga BBM bisa mencapai sepuluh ribu, tapi apakah mereka protes? Apakah mereka melakukan unjuk rasa? Jawabannya tidak. Bagi mereka harga tidak akan terlalu berpengaruh, selama persedian akan BBM terjamin ada. Harusnya rakyat Indonesia harus berpikiran seperti itu. Jika tidak, akan terlihat sekali apa yang mereka teriakan itu mencerminkan keegoisan mereka karena mereka lebih memikirkan dirinya sendiri saja. Mereka yang terutama tinggal di Pulau Jawa terbiasa dengan harga-harga yang murah dan kenyamanan yang tersedia, mereka akan langsung berteriak bila kenyamanan mereka terganggu. Jelas-jelas sungguh egois. Ku lebih suka bila harga barang-barang naik, bila dibandingkan negara harus berhutang lagi agar mencegah harga barang-barang tidak naik. Justru dengan kenaikan harga, rakyat Indonesia harusnya akan bekerja lebih keras lagi agar bisa memenuhi kebutuhannya. Bukannya malah cuma teriak-teriak tanpa arti, yang justru memperlihatkan bahwa dalam diri hanya ada sifat pemalas dan parasit saja.
Saat ini, ku berpikiran bahwa kemacetan yang terjadi di Jakarta mungkin akan terselesaikan bila BBM sudah tidak disubsidi lagi. Subsidi hanya berlaku bagi angkutan umum saja. Orang akan merasa keberatan dengan harga BBM yang sangat mahal, jadi mereka akan lebih memilih moda transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi. Lihat saja negara-negara di Eropa yang harga BBM-nya sangat mahal. Kendaraan pribadi sangat jarang berlalu-lalang, sehingga kemacetan tidaklah terjadi.
Mungkin pemikiran ku ini bisa dipertimbangkan oleh pemerintah agar Jakarta bisa terbebas dari kemacetan...