Friday, February 3, 2012

My Journey

Sudah hampir tujuh bulan ku melaksanakan tugas sebagai dokter PTT di Pulau Morotai. Selama bertugas disana ku mendapat berbagai pelajaran, termasuk menyadari ternyata ku sangatlah jauh dari yang dikatakan seven stars doctor. Sebuah slogan yang selalu didengungkan saatku masih kuliah dulu. Awalnya, ku ditempatkan di Puskesmas Daruba, sebagai dokter pengganti sementara karena dokter yang bertugas disana sedang cuti melahirkan. Sebagai Puskesmas kabupaten seharusnya memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibanding dengan Puskesmas di kecamatan lain, seperti Bere-bere, Wayabula, Sangowo, apalagi Sopi. Namun kenyataannya sungguh terbalik. Hal ini mungkin terjadi karena Puskesmas Daruba memiliki gedung yang bersebelahan dengan RSUD Morotai yang baru berumur dua tahun.

Jadi, saat pertama kali bertugas ku sedikit kecewa. Karena ku tidak bisa melakukan berbagai tindakan medis, seperti hecting atau sirkumsisi. Sebab bila ada pasien yang memerlukan tindakan harus dirujuk ke sebelah, dengan kata lain dibawa ke RSUD Morotai. Ku praktis hanya melakukan pelayanan untuk pasien rawat jalan alias hanya pasien dengan penyakit batuk-pilek saja.

Sebenernya, ku senang-senang saja karena tugasku menjadi sangatlah riang. Datang ke Puskesmas jam delapan pagi, lalu periksa pasien yang rata-rata hanya berjumlah delapan orang tiap harinya. Setelah itu ku pulang jam dua belas. Disela-sela tidak ada pasien dan menunggu hingga jam dua belas, ku biasa dihabiskan dengan nonton televisi yang memang disediakan di Puskesmas tersebut atau hanya duduk manis sambil mendengar celotehan gosip para perawat, bidan dan pegawai lainnya.

Petugas lain di Puskesmas baik itu perawat, bidan atau staf lainnya lebih banyak yang menganggur tidak melakukan pekerjaan lain selain bergosip atau nonton televisi yang menayangkan berita gosip. Memang di Puskesmas ada jadwal Posyandu perbulannya, namun rata-rata para perawat dan bidan hanya mendapat dua kali turun Posyandu saja. Jadi selebihnya hanya menganggur, makan gaji buta. Namun tidak semuanya seperti itu, masih ada segelintir orang yang benar-benar melakukan tugasnya secara bertanggung jawab.

Biasanya pegawai di Puskesmas akan terlihat sibuk bekerja bila sudah akhir bulan. Karena mereka harus membuat laporan kegiatan Puskesmas selama satu bulan yang telah dilalui. Tapi ada petugas yang membuat laporan yang isinya hanyalah karangan indah, hanya untuk pencitraan saja, tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Setelah dua bulan menjadi dokter pengganti di Puskesmas Daruba, ku kemudian ditempatkan di sebuah Puskesmas pembantu (Pustu) di desa Totodoku. Tempat tinggal ku pun ikut pindah ke desa tersebut. Totodoku adalah desa terdekat dari kabupaten sehingga ku juga masih sering ke Daruba dengan motor yang memang disediakan untuk mobilitas ku.

Sejak bertugas di Pustu tersebut ku mulai merasakan bagaimana rasanya menjadi dokter PTT. Kasus-kasus yang ku tanganin juga mulai beragam, mulai ada pasien yang kesurupan sampai pasien yang terkena stroke. Selain itu tindakan-tindakan medis juga banyak yang ku lakukan. Namun ada kebiasaan masyarakat disana yang ku kurang suka, yaitu suka memanggil petugas kesehatan ke rumah padahal meraka mampu untuk datang ke berobat ke Pustu. Biasanya bila sampai memanggil ke rumah, pasien tersebut dikenakan biaya agak besar. Bahkan ku pernah juga memarahi pasien ku karena hanya maunya panggil petugas kesehatan ke rumah. Karena itu, ku jadi agak malas bila harus datang ke rumah pasien yang terkadang ku sama ratakan. Apakah pasien itu benar-benar sakit berat sehingga tidak bisa datang, atau hanya manja saja, karena mereka sampai berani berbohong agar petugas kesehatan mau datang ke rumah mereka. Jadi ku sering kali menyesal dan merasa bersalah ketika menolak untuk datang ke rumah pasien ternyata memang sedang sakit berat.

Ku juga punya tugas untuk berkeliling ke setiap Pustu dan Polindes. Setiap hari Selasa, ku pergi ke Polindes Sabatai Baru, hari Kamis, ke Pustu Sabatai Tua, hari Sabtu ke Polindes Daeo. Selain itu ada jadwal kellilingku yang disesuaikan dengan jadwal Posyandu karena medan jalan untuk ke sana memang agak berat. Biasanya sekalian dengan Posyandu ku ke daerah transmigrasi, SP2, SP3, selain itu ke Pustu Pilowo.

Sejak pindah ke Pustu ku lebih senang dalam bertugas, karena ku bisa jalan-jalan ke berbagai tempat sehingga ku tidak bosan. Ku juga pernah ke Bere-bere untuk bertemu dengan Syari, teman kuliahku yang juga berugas di Morotai, hanya dengan mengendarai motor ditemani dokter yang bertugas di wayabula Syogi. Ternyata jalan menuju ke Bere-bere sangatlah berat, harus naik-turun gunung dengan jalan yang sanga-sangat rusak, bahkan sampai harus menerobos kebun orang karena jalannya tergenang lumpur yang dalam. Benar-benar perjalanan yang melelahkan dan tak akan dilakukan lagi untuk kedua kalinya.

Ku sepertinya tidak berjodoh dengan fasillitas motor yang diberikan kepadaku. Karena sampai hari ini ban motorku telah bocor empat kali dan telah mengganti ban dalam dua kali. Bahkan ku pernah pulang dari Daruba jam sembilan malam dan ternyata hujan deras, lalu sialnya ban belakang motorku bocor. Jadi terpaksa motor tetap ku kendarai meski ban belakang sudah tidak ada anginnya. Karena jalan antara Darua-Totodoku tidak ada rumah warga sama sekali, hanya di kelilingi ilalang dan kebun kelapa di kanan-kiri jalan. Hal ini sudah dua kali ku mengalaminya.

Saat ini blog ini ku tulis, ku berada di Jakarta untuk berlibur. Karena ku adalah satu-satunya dokter PTT yang ada di Morotai yang sangat jarang keluar dari pulau tersebut. Sebab banyak dokter yang sudah lebih dari tiga kali keluar Morotai, bahkan ada yang pergi setiap bulannya.

Semoga disisa-sisa masa tugasku di Morotai, ku berharap dapat memberikan pelayanan bagi masyarakat disana lebih baik lagi dan semoga ku juga bisa mendapat pelajaran hidup lebih banyak sehingga bisa membentuk diriku sebagai dokter yang benar-benar bisa memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.
Amiiin~

No comments:

Post a Comment