Disambut sinar keemasan matahari sore, aku menginjakkan kaki pertama kali di Pulau Morotai pada tanggal 7 Juni 2011. Pulau Morotai inilah termpatku bertugas sebagai dokter PTT selama satu tahun. Kabupaten Pulau Morotai termasuk dalam wilayah Propinsi Maluku Utara dan baru berusia dua tahun, hasil pemekaran dari kabupaten Halmahera Utara. Meskipun masih seumur jagung, kabupaten Pulau Morotai dipercaya untuk melaksanakan salah satu program unggulan Presiden SBY, yaitu Sail Indonesia di Morotai (SIM) 2012.
Sebagai
dokter PTT, aku ingin sekali bisa mengamalkan ilmu yang telah dipelajari selama
kuliah dan mendapatkan pengalaman yang berharga, sekaligus sebagai tempat
liburan yang dapat melepaskan diri dari kepenatan kota Jakarta. Di Pulau
Morotai inilah, untuk pertama kalinya aku merasakan fasilitas listrik yang
tidak 24 jam, harga kebutuhan pokok yang dua sampai tiga kali lipat dari harga
di Jakarta. Namun makin lama aku mulai terbiasa dengan harga-harga yang tinggi,
karena berprinsip bahwa “Ga apa-apa harga
mahal, yang penting barang ada”. Dan satu lagi, di Pulau Morotai ini nilai
mata uang terendah adalah Rp.1000. Orang-orang disini tidak mengenal pecahan
Rp.500, apalagi Rp.100. Meskipun barang-barang dibandrol dengan harga yang mengandung
unsur pecahan Rp.500, tapi jangan harap diberi uang kembalian Rp.500. Karena
pasti akan dibulatkan keatas. Kualitas air tanah di Pulau Morotai juga tidak
bagus, karena bila dimasak akan muncul endapan kapur yang sangat banyak sekali.
Jadi untuk minum dan memasak aku biasa beli air galon.
Di
pulau yang berbatasan dengan Filipina ini, aku ditugaskan di Puskesmas Daruba.
Puskesmas ini dulunya adalah Puskesmas rawat inap tapi setelah ada RSUD Pulau
Morotai, maka beralih hanya menjadi Puskesmas rawat jalan. Wilayah kerja
Puskesmas Daruba meliputi 21 desa dan 3 desa transmigrasi. Meskipun bertugas di
Puskesmas Daruba, namun Aku tinggal tidaklah di Daruba. Karena tidak adanya
rumah dinas dokter di Daruba, maka Aku terpaksa tinggal di Puskesmas Pembantu
(Pustu) desa Totodoku yang telah ditinggali oleh satu keluarga perawat dan
bidan. Karena jarak tempuh Totodoku ke Daruba yang sekitar 10 km, maka Aku
disediakan fasilitas motor dinas untuk mempermudah mobilitas.
Jam
dinasku di Puskemas Daruba mulai dari jam 8 pagi sampai jam 1 siang, hari senin
sampai hari sabtu, serta rata-rata pasienku 10-15 orang per harinya. Justru
pengalaman klinisku banyak bertambah bila kembali ke Totodoku. Karena meski
tidak buka praktik pribadi pasti ada saja pasien yang datang berobat atau
meminta datang ke rumah pasien diluar jam dinas bahkan hingga larut malam.
Penyakit yang aku temui juga beragam, mulai dari yang berhubungan dengan medik
hingga berbau klenik. Aku juga rutin turun ke desa-desa yang akses jalannya
cukup sulit ke Puskesmas Daruba, terutama desa transmigrasi, untuk memberikan
pelayanan pengobatan sekaligus pelaksaan posyandu. Lima besar penyakit yang ada
di wilayah kerjaku,yaitu ISPA, tekanan darah tinggi, TBC, gastritis dan kusta.
Meski Maluku Utara merupakan daerah endemik malaria, namun kasus malaria di
Pulau Morotai jarang terjadi. Meski ada penderita malaria, pasti pasien ada
riwayat keluar dari Pulau Morotai, entah itu ke Halmahera, Ternate, atau bahkan
ke Ambon. Selain lima besar penyakit itu ada juga penyakit lain yang bisa
dibilang cukup sering muncul walau tidak terlalu banyak jumlah
kasusnya adalah campak. Padahal program posyandu di Pulau Morotai menurutku
cukup berjalan dengan baik. Kasus campak biasanya pertama kali menginfeksi anak
diatas umur 4 tahun, bahkan ada yang berumur 14 tahun. Baru
setelah itu menginfeksi anak usia dibawah 3 tahun dan bayi. Menurutku, masih
adanya kasus campak dikarenakan mungkin program posyandu saat masih bergabung
dengan kabupaten Halmahera Utara tidak berjalan dengan baik, sehingga banyak
bayi dan anak yang tidak mendapat vaksinasi campak.
Sebenarnya
pelayanan kesehatan yang ada saat ini sudah cukup baik, dengan ketersediaan
tenaga kesehatan, terutama bidan, di setiap desa, meskipun sarana dan prasarana
penunjang kinerja masih sangatlah minim. Namun peran dinas kesehatan dalam
memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi para tenaga kesehatan sebagai ujung
tombak pencapaian segala program kesehatan, sangatlah buruk. Berbagai dana yang
ada, baik dari pusat maupun daerah banyak yang masuk ke kantung orang dinas
kesehatan. Bahkan kepala puskesmas pun ikut memperburuk keadaan para tenaga
kesehatan, dengan ikut menyunat segala dana-dana yang masuk ke Puskesmas. Dana
seperti BOK, Jamkesmas, Askes, Jamkesda dan Jampersal, segala dana tersebut ada
bagian bagi tenaga kesehatan, seperti dokter, perawat, dan bidan, namun kenyataannya
dana tersebut yang sampai ke tangan tidaklah sesuai dengan hak-hak tiap orang.
Bahkan ada yang tidak mendapatkan sama sekali. Kasus yang paling memprihatikan
adalah terjadinya penahanan gaji bidan, karena tidak lengkap mengumpulkan
persyaratan guna mengklaim dana Jampersal. Padahal alasan tidak melengkapi
syarat Jampersal adalah karena ada pasien yang melahirkan bukan ditolong oleh
tenaga kesehatan, tetapi oleh dukun. Jelas sekali maksudnya adalah untuk
mencairkan dana Jampersal dengan menghalalkan berbagai cara. Namun setelah cair,
dana tersebut lebih banyak yang masuk ke kantung orang dinas kesehatan. Bidan
sendiri hanya mendapatkan kurang dari 50% dari keselurahan dana Jampersal per
pasiennya.
Selama
menjadi dokter PTT di Pulau Morotai, aku tidak terlalu banyak mendapat masalah
yang berarti. Pernah bermasalah dengan gaji PTT, namun karena pegawai yang mengurusi
masalah PTT mengerti bagaimana dia harus bekerja. Maka dengan mudah masalah
gajiku pun dapat terselesaikan. Selain itu, dana-dana, seperti Jamkesda, Askes,
dan Jamkesmas memang ku masih mendapatkan, meski jumlahnya tidak sesuai dengan
persentase yang harusnya aku dapat. Namun Itu itu tidaklah terlalu penting,
dikarenakan jumlah pegawai di Puskesmas Daruba sekitar 30 orang, belum lagi
ditambah dengan pegawai honorer yang jumlahnya lebih dari 10 orang. Jadi harus
dibagi rata dengan seluruh pegawai yang ada. Selain itu, dana-dana tersebut
yang harusnya menjadi pendapatan Puskesmas, sering kali harus digunakan untuk
menutupi segala biaya Puskesmas, karena dana BOK sering terlambat turun dari
dinas kesehatan kabupaten. Ketika turun pun harus dipotong lagi oleh dinas
kesehatan. Selain permasalahan dana, masalah kepegawaian juga menjadikan
masalah yang cukup besar. Bisa diambil contoh di Puskesmas tempatku bertugas.
Meski sudah mempunyai jumlah pegawai yang banyak, masih saja ditambah terus
pegawai honorer. Semua pegawai honorer yang ada adalah titipan dari orang dinas
kesehatan yang masih ada hubungan kekeluargaan. Padahal Puskesmas sendiri sudah
tidak butuh lagi tambahan, karena semua pos sudah terisi. Alhasil pegawai
honorer yang ditaruh di Puskesmas pun tidak bekerja dengan semestinya, alias
hanya makan gaji buta. Budaya nepotisme menurutku masih tumbuh subur, tidak
hanya di Pulau Morotai, tapi juga di Maluku Utara atau bahkan di wilayah
Indonesia bagian timur.
Diluar
carut marutnya keadaan birokrasi yang ada, Pulau Morotai meyediakan tempat
dengan panorama alam yang cukup indah untuk dikunjungi. Ada Pulau Dodola yang
mempunyai pasir pantai selembut tepung, ada air terjun Nakamura yang merupakan
sumber air untuk memenuhi kebutuhan Nakamura sehari-hari. Mungkin akan banyak
yang bertanya siapa itu Nakamura. Nakamura adalah seorang tentara Jepang yang
ikut berperang ketika Perang Dunia II. Saat Jepang menyerah kepada sekutu,
Nakamura tidak mau kembali ke Jepang. Dia lebih memilih melarikan diri ke
hutan. Pulau Morotai pada saat Perang Dunia II ikut ambil bagian dengan menjadi
base camp tentara sekutu yang
dipimpin oleh Jenderal Douglas Mc.Arthur. Saat di Pulau Morotai, sekutu membangun
landasan pesawat terbang terbesar di dunia dengan tujuh buah landasan. Namun,
saat ini hanya dua buah landasan yang dapat digunakan untuk pendaratan pesawat.
Adanya latar belakang sejarah yang kuat, ditunjang dengan keindahan
tempat-tempat yang eksotis, tak heran Sail Indonesia tahun 2012 diselenggarakan
di pulau tersebut.
Nicee !
ReplyDeleteaku juga kemarin dapat tempat KKN di morotai :)
#FKM