Tuesday, April 30, 2013

Aparat, Mengayomi atau Mengganyangi




Sebuah negara yang berdaulat pasti mempunyai sistem yang bisa mempertahankan dan membela negara dari ancaman luar, sekaligus sebagai pengayom dan pelindung bagi warga sipil. Begitu pun Negara Kesatuan Republik Indonesia juga mempunya seperangkat sistem dan kesatuan yang sama yang dinamakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi. Kedua kesatuan inilah yang menjaga kedaulatan Negara sekaligus memberi rasa aman dan mengayomi warga sipil. Kedua instansi itu pun menjadi salah satu perangkat hukum yang menegakkan keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia, agar keamanan dalam negeri menjadi kondusif. Secara garis besar memang TNI dan Polisi mempunyai tugas utama yang cukup berbeda. TNI lebih dititik beratkan untuk menjaga kedaulatan dan keamanan Negara dari serangan atau intervensi dari luar. Oleh karena itu TNI dibagi menjadi tiga korps, yaitu TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Udara (AU), dan TNI Angkatan Laut (AL). Sedangkan Polisi lebih diutamakan utuk menjaga keamanan dalam negeri dan memberi pelayanan tertentu bagi warga sipil. Namun tak jarang TNI pun ikut serta dalam penciptaan keamanan dalam negeri bersama Polisi, terutama bila keadaan keamanan dalam negeri menjadi chaos.

     Namun situasi yang terjadi saat ini pada kedua institusi itu sangatlah bertentangan dengan apa yang telah digariskan pada mereka. Karena kedua institusi bukannya membuat rasa aman, justru makin membuat warga sipil menjadi ketakukan dengan berbagai tindak tanduk yang dilakukan kedua instansi tersebut. Banyak tindakan represif dilakukan aparat pada warga negara dalam menyelesaikan beberapa masalah, seperti penanganan demonstrasi mahasiswa, penuntutan hak tanah yang sering disengketakan antara penduduk asli dengan pihak TNI, dan lainnya. Memang tindakan represif dilakukan oleh oknum aparat saja, namun terkadang anggota aparat lain terprovokasi ikut melakukan tindakan represif. Bahkan tak segan-segan aparat hingga menodongkan senjata api pada warga sipil.

     Selain tindak represif, aparat seringkali menggunakan “titel aparat”-nya untuk menekan warga atau melakukan hal seenaknya yang lebih menguntungkan dirinya sendiri. Sebagai contoh, coba lihat dijalan raya bagaimana motor dan mobil plat TNI atau Polisi dengan seenaknya melanggar rambu-rambu lalu lintas, seperti masuk ke jalur busway atau menerobos lampu lalu lintas. Polisi yang melihat hanya terkesan pura-pura tidak melihat. Coba yang melanggar itu warga sipil biasa pasti langsung diberhentikan dan ditilang, bahkan hingga diminta uang dalam jumlah yang besar. Tindakan aparat akan lebih menjadi-jadi bila jauh dari pusat instasinya. Salah satu teman yang pernah berada di Pulau Mentawai bercerita bahwa Polisi yang berada disana merupakan Polisi-Polisi yang dimutasi karena melanggar disiplin, namun mutasi itu justru membuat oknum Polisi itu makin tidak disiplin bahkan cenderung ke tindak kriminal seperti menjadi bandar ganja atau melindungi perjudian yang ada disana. TNI pun demikian, terutama TNI AD yang sering anggotanya ditempatkan didaerah terpencil. Mereka menjadi layaknya yang punya kuasa satu-satunya didaerah tersebut. Sikap tak simpatik sering kali ditunjukkan pada penduduk setempat seakan-akan ingin menunjukkan “Ini loh Aku anggota TNI. Jangan macam-macam denganku”. Tabiat oknum anggota TNI pun tak jauh seperti yang dilakukan polisi, ada yang menjadi bandar minuman keras atau menjadi pelindung untuk kegiatan-kegiatan illegal. Bahkan ada anggota TNI yang menghamili wanita penduduk setempat tapi tidak mau bertanggung jawab dengan berbagai alasan seperti belum mendapat izin dari atasan untuk menikah atau sudah harus pindah ke tempat penugasan lain dan berbagai alasan lain. Sikap aparat yang “sok jagoan” itu tak jarang membuat gesekan juga antara kedua instansi. Kasus terakhir adalah penyerangan dan pembakaran Polsek Ogan Komiring Ulu oleh segerombolan anggota TNI AD yang berujung pangkal akibat perselisihan yang terjadi ketika oknum TNI AD yang ditilang oleh Polisi tidak terima dan terjadi keributan yang mengakibatkan terbunuhnya anggota TNI AD itu.

     Dalam enam bulan terakhir banyak sekali kasus tindak kekerasan ataupun tindakan yang menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi yang dilakukan aparat penegak hukum pada warga sipil, antara lain ketika seorang jurnalis ketika sedang bertugas memfoto pesawat TNI AU yang jatuh justru kena hajar oleh oknum TNI AU tanpa sebab. Kasus terbaru adalah ada anggota Polisi dari Polres Ciamis yang menabrak pengendara motor hingga menghilangkan dua nyawa melayang sia-sia. Namun bukannya Polisi tersebut diproses hukum justru dilindungi oleh Kapolresnya dan menyalahkan balik sang pengendara motor yang dianggapnya lalai.

     Sering kali yang melakukan tindak kekerasan atau tindakan sewenan-wenang dan menguntungkan diri sendiri, serta sikap tidak simpatik justru dilakukan oleh aparat Polisi dan TNI yang berpangkat rendah. Kelakuan mereka sudah seperti berpangkat Jenderal berbintang yang dengan berbuat seenaknya dan bila berhadapan dengan warga sipil mempertontonkan sikap tidak simpatik seakan warga sipil tersebut adalah seorang buronan yang sedang dicari-cari. Namun instansi yang saat ini menjadi sorotan adalah Kepolisian. Mulai dari pangkat rendah hingga pangkat berbintang semua terlibat kasus pidana, baik itu menyangkut kekerasan pada warga sipil maupun tindak korupsi. Bila perangkat penegak hukum baik itu Polisi dan TNI bertindak sesuka hatinya akan membuat Negara ini menjadi kacau balau. Mereka  yang seharusnya menjadi pengawal penegakan hukum justru mereka sendirilah para pelanggar hukum dan tidak pernah sekali pun mendapat proses hukum. Justru para aparat seperti kebal hukum dan membuat peraturan hukum dibuat untuk warga sipil saja. Padahal sejatinya hukum dibuat untuk semua warga negara yang berada didalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan untuk golongan tertentu saja.

     Pada kesehariannya warga sipil seolah-olah menaruh hormat pada anggota TNI atau Polisi. Namun rasa hormat itu bukan lah bersumber dari kebanggaan pada prestasi yang telah dihasilkan, tapi hanya rasa takut dan terancam yang menyelimuti warga sipil akibat tindakan para aparat selama ini.  Inikah fungsi sesungguhnya kedua instansi itu dibentuk, hanya memberi rasa takut dan bukan memberi rasa aman. Maka tak dapat disalahkan warga sipil sekarang sudah mulai berani melawan kepada aparat. Sudah ada dua kasus yang mengakibatkan terbunuhnya aparat akibat amuk massa. Mungkin inilah bentuk perlawanan warga sipil yang sudah jengah melihat tindak tanduk aparat yang seenaknya sendiri dan sering kali melanggar hukum.

     Bila ini terus berlanjut maka ide awalnya dibentuk kedua instansi, terutama TNI, untuk menangkal dan berperang bila ada serangan dari luar wilayah Indonesia. Aparat justru akan berperang dengan saudaranya sendiri yang tidak lain warga sipil. Selain itu perlu diingat, uang gaji untuk para aparat tersebut bukanlah dari para pejabat negara. Namun justru uang dari warga sipillah mereka mendapat gaji untuk bisa melindungi melindungi dan menciptakan rasa aman bukan seperti saat ini. Seakan-akan warga sipil mengeluarkan uang untuk membayar aparat untuk memukuli warga sipil yang lain. Agar citra TNI dan Polisi menjadi lebih baik lagi dimata warga sipil harus mulai berubah. Langkah awal yaitu menerapkan penjatuhan hukum yang tegas bagi aparat yang melanggar. Memberhentikan anggota aparat yang terbukti terllibat kasus pidana bukan malah melindunginya. Dan terakhir memperketat perekrutan anggota baru terutama dalam kejiwaan bagi anggota baru. Sehingga tidak mudah terpancing untuk melakukan tindakan represif dan melakukan tindakan criminal lainnya. Terakhir adalah sikap simpaktik harus dibangun didiri setiap aparat naik itu TNI maupun Polisi agar lebih mendekat pada warga sipil dan menghilangkan rasa takut yang selama ini menghinggapi. Dengan TNI dan Polisi yang simpatik, akan tercipta kondisi warga sipil yang patuh, serta membuat Indonesia pun semakin baik.


No comments:

Post a Comment